Senin, 12 Oktober 2015

Mengapa menikah itu menyenangkan?

SEANDAINYA bisa memilih, pastinya para istri di dunia menginginkan pasangan hidup mereka bak selebritis. Tampan, kaya, baik hati, romantis, sholeh dan setia. Terbayang kan kalau sang suami itu pujaan banyak wanita, tapi ia menjatuhkan pilihannya pada hanya satu orang wanita, yaitu kita.

Seperti lagu-lagu cinta, suami siap menjadi teman untuk suka ataupun duka. Saat kita senang, ia memberikan penghargaaan dan pujian. “Saya bangga punya istri seperti kamu, sudah cantik, pinter lagi.” Melayang rasanya kalau kata-kata itu keluar dari suami tercinta. Atau saat kita bersedih ia berempati,”jangan sedih, biar saja orang lain tidak nerima dakwah kita, yang penting kan Allah dan saya ridho dan menerima,” sementara dadanya menjadi penampung tumpahan air mata kita. Sederhana tapi meringankan beban di dada.

Atau para istri juga berharap kalau suami selalu ingat tanggal kelahiran kita atau tanggal pernikahan kita, meskipun pernikahan itu sudah bertahun-tahun lamanya. Lalu di pagi hari sambil memeluk mesra ia berbisik lembut di telinga,”selamat ulang tahun saying, semoga panjang umur dan selalu diridhoi Allah,”. Kemudian ia mengeluarkan kado istimewa, sebatang coklat kegemaran kita. Rasanya tidak ada orang yang lebih berbahagia pada hari itu di dunia selain diri kita.

Para muslimah pastinya juga menginginkan suami-suami mereka rajin beribadah, semangat berdakwah, bertanggungjawab dan tidak lupa mengajak istrinya ikut serta meraih pahala. Begitulah kira-kira suami idaman setiap muslimah di dunia.

Tapi sadarlah wahai para muslimah, kita menikah dengan seorang manusia, makluk dari planet Bumi yang memiliki akal dan perasaan. Bukan dari pangeran dari negeri impian. Akal membuatnya berpikir yang baik dan buruk, yang dapat membuatnya mengambil keputusan yang menyenangkan, sesuai agama atau tidak. Ia juga punya perasaan yang berisi emosi, senang, gembira, sedih, terluka, kesal dan dendam.

Adakalanya ia berbuat kebaikan, tapi adakalanya ia berbuat salah. Adakalanya ia begitu romantis, perhatian dan rajin beribadah, tapi ada saatnya pula ia seperti lupa bahwa ada seorang wanita yang mencintainya. Pada saat itu banyak muslimah yang bingung menghadapi suami, bahkan yang kecewa dan kesal pun tidak sedikit. Utamanya para ibu muda.

Agar tidak banyak kecewa, sejak awal mari kita sadari jika pernikahan bukanlah garis lurus, tapi ia kurva kehidupan yang tidak bisa diduga polanya. Mereka yang sadarlah yang harus mengembalikannya pada jalan yang benar, dengan nasihat dan cinta, bukan dengan kebencian. Tidak ada salahnya kita mendengar nasihat seorang penulis terkenal, Mark Twain;”Bekerjalah bagaikan tak butuh uang. Mencintailah bagaikan tak pernah disakiti. Menarilah bagaikan tak seorang pun sedang menonton.”

Ya, berpikirlah positif tentang suami kita, maka rumah tangga akan terasa menyenangkan. Terimalah suami kita apa adanya sambil berikhtiar untuk bersama-sama memperbaikinya. Janganlah terbuai dengan impian ‘indah’ kita dan memaksanya terwujud pada suami kita dalam seketika. Ada yang memang dapat diwujudkan, adapula yang berproses, ada pula yang harus dimaklumi. Lagipula, banyak orang yang lupa untuk bersyukur atas apa yang ia miliki, sementara banyak orang yang menginginkan hal itu pada diri mereka.

Beri kesempatan suami kita untuk menenangkan dan memperbaiki diri. Karena ia pun sebenarnya tengah memberikan kesempatan memperbaiki diri kepada dirinya sendiri dan juga kita, para istri. []

Sumber: Mengapa Menikah Itu Menyenangkan?. M. Iwan Januar. Bogor: Al Azhar Fresh Zone

Tidak ada komentar:

Posting Komentar